Masuknya sinar matahari yang menerangi kamarnya menandakan
pagi telah tiba. Alena yang tetap tidak beranjak dari tempat
tidurnya--membalikkan posisi badannya untuk menghindari sinar yang menyentuh
wajahnya. Tiba-tiba, semburan air entah
datang dari mana langsung mengenai wajahnya dan langsung
membuka matanya.
“Oi.
Bangun, Bodoh ! Sampai kapan mau tidur terus ?” tanya seorang anak laki-laki
yang berambut cokelat muda nyentrik dan berkulit gelap yang belum pernah
ditemuinya, telah mengguyur wajah Alena dengan sebuah ember berukuran sedang.
“GRRR
!!! SIAPA KAU ??? BERANI-BERANINYA KAU BILANG AKU “BODOH” !!” ia sangat marah karena
telah dibangunkan dengan panggilan seperti itu.
“Odyssey,
Alena, apa yang telah kalian lakukan ?...” Pantheronia langsung datang ke
kamarnya.
“Oi,
Pantheronia. Siapa sih perempuan bodoh yang kau bawa ini ?” tanya Odyssey
sambil menunjuk-nunjuk Alena. Tentu saja hal ini membuat Alena makin tambah
marah.
“Kurang
ajar kau nunjuk-nunjuk orang seperti itu ! Tidak akan kumaafkan !!” Alena pun
langsung meluncurkan kepalan tinju ke arah wajah Odyssey. Tapi, dengan sigap,
Pantheronia langsung mencegah pukulannya.
“Cukup
!! Odyssey, bagaimana kau ini ? Aku kan sudah bilang kalau membangunkan orang
itu dengan cara yang benar !! Odyssey, cepat minta maaf ! Alena, mohon maafkan
dia. Anak ini memang kasar, tapi sebenarnya baik kok…” kata Pantheronia sambil
mengacak-acak rambut Odyssey.
“Mana mau aku minta maaf sama cewek bodoh dan
jelek itu !!” katanya dengan nada kesal. Odyssey langsung berlari begitu saja
meninggalkan Alena dan Pantheronia.
“Alena,
maafkan aku karena belum cerita kepadamu. Sebenarnya aku mengambilnya sejak
satu tahun yang lalu. Desanya yang terletak di utara wilayah Panther clan ini, juga dibantai oleh
sekumpulan orang yang tak dikenal dan pada saat itu aku sedang ada keperluan di
kota yang dekat dari desanya,”
Pantheronia menceritakan tentang Odyssey dan kemudian, ia kembali melanjutkan,
“ketika mau pulang, aku melihat kumpulan asap hitam pekat di langit dan mengira
kalau itu kebakaran, kemudian langsung mencari sumber kebakaran itu. Tapi, di
tengah perjalanan, aku menemukannya pingsan di tengah hutan dan akhirnya aku
membawanya ke sini. Aku tahu desanya yang seperti itu dari orang-orang yang
telah berhasil menyelamatkan diri dari sana.”
Alena
pun menyambung pembicaraan, “Ada satu hal yang ingin aku tanyakan padamu.”
“Kenapa
dia mengejekku “Bodoh, Jelek” ? Padahal aku baru saja bertemu dengannya dan
bahkan mengejeknya saja belum ada.”
“Aku
rasa… dia tak suka kehadiran orang lain… Tapi tenang saja, aku yakin kau dan
dia pasti bisa berteman dengan baik,” setelah menjawab pertanyaannya,
Pantheronia pun langsung meninggalkan kamar Alena.
“Berteman
dengan baik dengannya ?”
Beberapa
saat kemudian, Odyssey sedang menyapu teras rumah. Sambil menyapu, raut
wajahnya terlihat kesal dengan keberadaan Alena di rumah Pantheronia.
“Sial
! Kenapa sih Pantheronia bawa cewek asing bodoh itu ? Udah gitu, jelek lagi,
mukanya kumal banget, rambutnya juga urak-urakan,” gerutu Odyssey yang sedang
memukul sapunya berkali-kali hingga banyak debu berterbangan, karena saking
kesalnya.
“Ck
ck ck… bagus sekali kau ngomongin orang kayak gitu !” Odyssey kaget mendengar
suara itu dan… satu pukulan keras mengenai pipinya hingga memar.
“Cewek
bodoh !!! Berani-beraninya kau memukulku !!! Kau kira aku bakal segan dengan
cewek sepertimu ?” ternyata yang memukulnya adalah Alena dan Odyssey mulai
bersiap-siap mengepalkan kedua tangannya hingga terdengar bunyi-bunyi tulang
jari mengertak yang begitu keras.
“Berhenti
memanggilku “Bodoh” !! Aku punya nama, tahu !! Namaku Alena !! Kalau kau mau
membalas tinjuku, ayo tinju pipiku juga sekarang !!” dengan nekatnya, ia pun
memberanikan diri untuk menghadapi serangan balasan. Ketika serangan Odyssey
mulai mendekati wajahnya, tiba-tiba saja ia menghentikan serangannya. Sementara
itu, Alena juga tak gentar menghadapinya malah merasa heran, “Kenapa… kenapa
tidak jadi memukulku ?”
“……
Laki-laki yang memukul seorang perempuan adalah tindakan seorang pengecut. Itu
kata ibuku…” Odyssey langsung saja meninggalkan Alena sambil masuk ke dalam
rumah.
Siang
harinya, Pantheronia baru saja pulang dari pasar sambil membawa belanjaannya.
Lalu, Alena pun menyambut kedatangannya dan membantunya membawa hasil
belanjaannya.
“Oh…
kau tidak usah membawanya, Alena. Biar aku saja. Soalnya kan berat,” ucap
Pantheronia sambil tersenyum.
“Eh…
tidak juga kok. Aku ingin sekali membantumu dan aku juga ingin belajar masak. Soalnya waktu aku dan kakakku
masih tinggal bersama, hanya kakakku yang bisa memasak,” balasnya dengan raut
wajah sedih.
“Eh…
ma-maafkan aku. Aku tak bermaksud melarangmu,” Pantheronia malahan meminta maaf
kepada Alena karena telah mengingatkan masa lalunya dan juga tak tahan melihat
raut wajahnya yang seperti itu, “Baiklah, kau boleh membantuku. Hm…
ngomong-ngomong, di mana Odyssey ? Biasanya dia juga sering membantuku memasak,”
tanyanya dengan penuh keheranan.
“Odyssey
? Maksudmu cowok bodoh itu ? Aku rasa dia ada di kamarnya. Biar aku yang
memanggilnya.”
“Eh,
tunggu ! Memangnya kau tahu di mana kamarnya ?”
“Tenang
saja. Sebagai anggota Panther clan,
indera penciuman merupakan salah satu keistimewaan yang kita miliki. Mana
mungkin aku tidak tahu kamarnya,” kata Alena dan langsung mencari kamar Odyssey
dengan mengandalkan indera penciumannya.
Rumah
Pantheronia tidaklah besar, sehingga Alena mudah menemukan kamar Odyssey yang
letaknya tak begitu jauh dari kamarnya. Sebelum memasuki kamarnya, diketuknya pintu
kamar itu sebanyak tiga kali sambil memanggil namanya.
Sudah tiga kali ia mengetuk dan memanggilnya, tapi--hasilnya
nihil. Ia pun mencoba mengulang hal sebelumnya untuk yang keempat kalinya namun
hasilnya tetaplah sama. Akhirnya ia berpikir, “Kenapa dia tak menjawab bahkan membuka
pintunya ? Coba aku dobrak saja pintunya,” Alena mulai berjalan mundur beberapa
langkah dan berlari, dengan cepat langsung mendobrak pintu dengan badannya.
Akhirnya berhasil juga pintu terbuka dengan paksa. Namun, Odyssey tak ada di
sana rupanya.
“Lho
? Ke mana dia ? Padahal aku yakin tadi dia menuju ke sini,” kemudian Alena
melihat sebuah jendela yang begitu besar di sudut kamar itu terbuka dan
berpikir bahwa kemungkinan Odyssey pergi keluar melalui jendela kamarnya.
“Alena,
Odyssey ada di kamar ?” tanya Pantheronia yang baru saja tiba di depan pintu
kamar Odyssey.
“Dia
tidak ada di sini. Biar aku yang mencarinya,” ia pun langsung berlari begitu
saja melalui jendela yang terbuka itu. Pantheronia bahkan tak sempat
mencegahnya.
Mengandalkan
indera penciuman dan berlari sekuat-kuatnya menuju hutan terdekat rumahnya
tanpa henti, akhirnya Alena mulai menemukan jejaknya. Begitu sampai di tempat
tujuan, ternyata Odyssey ada di sana. Ia sedang berlatih dengan sebuah pedang
besar. Teknik mengayunkan pedangnya membuat Alena terpesona melihatnya.
Menyadari keberadaannya, Odyssey langsung menghentikan gerakannya dan menoleh
ke arah Alena.
“Ada
perlu apa mencariku, cewek bodoh ?”
“Berhentilah
memanggilku dengan sebutan seperti itu ! Aku dan Pantheronia mencemaskanmu,
tahu ! Ayo pulang ! Di sini tidak aman kalau sendi--,” belum selesai berbicara,
tiba-tiba mulutnya dibungkam oleh seorang laki-laki yang berbadan tinggi besar
yang muncul di belakangnya.
“Alena
!!!” Odyssey terkejut melihatnya dan tak disadarinya, munculah lima pria berbadan besar dengan tampang yang menakutkan, berdiri di belakangnya.
“Wah,
wah. Bocah kecil sepertimu sudah jago melakukan teknik pada pedang besar itu
dan… kami ingin tahu seberapa besar kemampuanmu,” kekeh salah satu dari mereka.
Mendengar itu, Odyssey langsung menoleh ke belakang.
“Cih
! Badut-badut seperti kalian ini siapa…”, tiba-tiba, Odyssey mendapat tendangan begitu kuat salah satu dari
mereka yang lainnya hingga terpental jauh membentur sebuah pohon besar yang ada
di sana. Ia begitu lengah dengan kehadiran lawan.
“Uuuggh…”
Odyssey pun perlahan-lahan berusaha untuk bangkit, meski harus menahan sakit di
perutnya akibat tendangan tadi.
Melihat
hal itu, dengan mulut yang masih dibungkam, dengan sekuat tenaga, Alena
menggigit keras tangan pria itu hingga akhirnya terlepas juga dari bungkaman.
Alena langsung berlari menuju ke tempat Odyssey, “Ody, Ody !!!” tak sanggup
menahan akhirnya air matanya keluar juga karena sangat menghawatirkan keadaan
Odyssey. Laki-laki yang berada di belakangnya berusaha mengejarnya.
“Dasar
bodoh !! Cepat menghindar !! Di belakangmu…. !!!” salah satu di antara mereka
yang lainnya dengan cepatnya langsung menginjak kepala Odyssey sampai menyentuh
tanah. Sementara itu, Alena juga berhasil ditangkap kembali.
“Jangan
sok, Bocah ! Kenapa kau diam saja melihat perempuan itu ? Kasihan sekali, kau tidak ada nyali sedikit
pun untuk melawan kami… HAHAHAHAHAHAHA !!!!”
orang itu makin menekankan kakinya ke kepala Odyssey dan Odyssey hanya
menahan rasa sakit yang dideritanya.
“Kalian
semua, bunuh saja anak laki-laki itu !!! Lalu, anak manis ini kita jadikan saja
dia sebagai budak !!!” kata laki-laki yang telah berhasil menangkap Alena
kembali dan yang lainnya beramai-ramai mulai mendekati Odyssey. Mereka semua
mulai mengeluarkan senjatanya dan mengarahkannya ke tubuh Odyssey. Namun…
“Tidak
akan kumaafkan !...” tiba-tiba saja gerakan para laki-laki itu terhenti, sekejap langsung jatuh dan tak
sadarkan diri. Odyssey melihatnya penuh keheranan.
“Eh
!? Pantheronia !? Kok… kok bisa tahu kami di sini ?” tanya Odyssey sambil
terkejut karena Pantheronia muncul begitu saja di hadapannya.
Sementara
itu, Alena sudah bebas dari cengkraman laki-laki itu dan mulai berjalan
mendekati mereka berdua dan bertanya, “Ody, kau baik-baik saja ? Terima kasih,
Pantheronia, Engkau telah menolong kami. Tapi… apa yang kau lakukan pada mereka
?” Alena langsung menunjuk kumpulan laki-laki itu yang sedang tak sadarkan
diri.
Pantheronia
pun menjawab pertanyaan mereka, “Bau kalian berdua kan sudah aku kenal. Jadi
aku pasti tahu dengan jejak kalian. Kemudian, yang aku lakukan pada mereka
adalah menekan pusat kesadarannya itu. Sehingga mereka tak sadarkan diri.
Selain itu juga, aku harus menghapuskan memori mereka tentang kalian berdua.
Soalnya akan lebih repot jika mereka mengincar kalian lagi,” kemudian, ia pun menghampiri
masing-masing laki-laki itu dan mulai menempelkan telapak tangannya ke atas
kepala mereka. Tak lama kemudian, cahaya putih muncul dari tangannya dan
seakan-akan cahaya itu menyerap sesuatu dari kepala mereka. Melihat itu, Alena
dan Odyssey makin dibuat bingung.
“Ody,
apa sih yang dilakukannya ?”
“Entahlah…
Aku juga tidak tahu. Yang penting, kita diselamatkan olehnya, kan ?” balas
Odyssey sambil tersenyum dan Alena terkejut.
“Kau
bisa senyum ternyata… hehehehe. Aku kira kau bakal marah terus padaku. Maafkan
aku. Maafkan perbuatanku tadi dan juga telah menyusahkanmu…” katanya sambil
menundukkan kepala.
“Akulah
yang harusnya minta maaf padamu,” balasnya sambil menepuk bahunya dan Alena
langsung mengadahkan wajahnya, “aku… aku memang awalnya tak menyukai
kehadiranmu. Tapi…” entah kenapa tiba-tiba saja wajahnya langsung memerah.
Sedangkan, Alena melihatnya penuh dengan tatapan keheranan.
“Odyssey,
wajahmu merah tuh…” goda Pantheronia sambil menunjuk-nunjuk pipi Odyssey.
Mereka berdua terkejut dengan kehadirannya yang tiba-tiba.
“Mana
ada wajahku merah !! Pantheronia, sejak kapan kau muncul di sini ?? Hampir saja
aku mengalami henti jantung gara-gara kau !!” ia pun menyangkalnya dan
Pantheronia langsung tertawa terbahak-bahak. Melihat mereka seperti itu, Alena
pun senang.
“Oh
iya. Aku baru ingat ! Aku tadi ke pasar membeli daging buat kalian. Yuk, kita
pulang ke rumah. Aku akan membuat masakan yang paling enak untuk kalian,”
Pantheronia langsung memberikan kedua tangannya kepada Odyssey dan Alena. Mereka
berdua langsung menyambut tangannya. Sambil bergandeng tangan bersama-sama,
akhirnya mereka pun pulang ke rumah.
Pada
malam harinya, segala aktivitas rutin yang dilakukan oleh mereka pada hari itu
telah selesai. Sebelum memasuki kamarnya, Alena pergi menuju ke teras rumah
untuk mencari udara segar. Sesampainya di sana, ternyata sudah ada Pantheronia
dan Odyssey yang sedang duduk sambil melihat langit malam yang begitu cerah dan
bintang-bintang di sana juga menghiasi langit itu.
“Oh,
Alena. Kau belum tidur juga ?” tanya Pantheronia.
“E-eh,
aku ingin mencari udara segar dulu di sini. Lagipula, aku juga belum bisa
tidur,” jawabnya dan kemudian duduk di samping Pantheronia. Sedangkan, Odyssey
tetap tak bergeming.
“Langit
yang indah…” kata Pantheronia sambil melihat langit malam, “tapi, sebentar lagi
bulan purnama akan muncul. Coba lihat bulan itu, bulannya sudah cembung.
Sekitar 1-2 hari lagi mungkin sudah muncul dan itu pun kalau tidak ada hujan.”
“Apakah
yang kau maksud itu…tentang “karma” ?”
“Ya.
Sebuah karma di mana dalam malam purnama, wujud kita berubah tak seperti
manusia lagi. Melainkan seekor Panther. Kita semua yang merupakan anggota Panther clan, akan mengalami fase
seperti itu setiap bulannya.”
“Begitu
?... Pantheronia, aku mau tanya. Kenapa kita bisa seperti itu ?” tanya Alena
penasaran.
“Ngg…
Kenapa ya ??” Pantheronia pun berpikir keras untuk mengingat dan menjawab
pertanyaannya dan malah mulai tanya ke Odyssey, “hei, Odyssey, kau tahu nggak
kenapa.”
“Aku
juga nggak tahu. Justru itu juga yang ingin aku tanyakan.”
“Ya
ampun… kok aku jadi lupa ya ?” Pantheronia malah pusing sendiri sambil
mengacak-acak rambutnya, “… kalau tak salah aku punya buku tentang karma pada
tujuh klan. Kalian tunggu di sini ya, aku mau cari bukunya di kamarku,”
Pantheronia pun masuk ke dalam rumah. Beberapa saat setelahnya, keheningan di
antara Alena dan Odyssey masih menetap dan Pantheronia belum kembali juga. Tak
lama kemudian, Alena pun angkat bicara.
“Ody,
bagaimana dengan luka di perutmu ?”
“Ya…
masih sakit sih. Tapi sudah mulai mendingan.”
“Syukurlah,”
kata Alena sambil tersenyum, “Ody, kan kita masih belum kenal satu sama lain,
aku ingin tahu tentang dirimu. Ngomong-ngomong, kau berasal dari mana sih ?”
“Aku
berasal dari desa Cottagen, wilayah utara Panther
clan. Kalau kau sendiri ?”
“Aku…
aku berasal dari desa Transvonia, wilayah selatan Panther clan. Memangnya kenapa kau bisa dibawa Pantheronia kemari ?
Apa desamu dibantai oleh seseorang berjubah hitam ?”
“Jubah
hitam ? Entahlah, yang aku ingat hanya orang-orang desa dibantai secara
tiba-tiba. Ayah dan ibuku menyuruh aku dan kakak untuk melarikan diri dari
desa… tapi, aku juga tak begitu ingat… saat melarikan diri, aku… berpisah
dengan kakakku begitu saja.”
“Oh…
hampir sama denganku.”
“Aku
juga punya kakak, tapi kalau orang tua, sejak kecil aku bahkan tak pernah tahu wajah
mereka. Kakakku bilang kalau mereka sudah meninggal. Setelah terjadi insiden
yang sama denganmu pada waktu itu, aku tak bisa menemukan kakakku dan saat itu
juga, aku sedang sakit dan kakakku pergi mencari uang tapi belum kembali juga.
Kenapa… kenapa hal itu bisa terjadi ?” raut wajah Alena mulai berubah.
“Jangan
pernah menyesali dengan hal-hal yang pernah kau lalui.”
“Eh
?” Alena langsung tersentak mendengarnya.
“Jangan
pernah menyesal. Kau harus bersyukur karena kau masih dapat melanjutkan hidup.
Begitu juga denganku. Setelah aku berhasil menguasai teknik pedang yang
diajarkan oleh Pantheronia, aku akan mengikuti wajib militer di ibu kota Panther clan, Sainscotta. Aku… aku akan
mencari ayah, ibu, dan juga kakakku melalui pekerjaanku nantinya. Pasti !!”
kata Odyssey dengan semangat yang meluap-luap. Melihatnya, Alena mulai
berpikir, jika ia mengikuti wajib militer, ada kemungkinan ia bisa mendapatkan
informasi mengenai keberadaan kakaknya. Kemudian, Alena pun membalas
perkataannya.
“Ody,
aku akan mengikuti jejakmu !!”
“Alena,
apa maksudmu ?” tanya Odyssey kebingungan.
“Aku
akan mengikuti jejakmu. Aku mau mengikuti wajib militer juga. Dengan begitu,
kemungkinan ada informasi mengenai di mana kakakku berada.”
“Apa
!? Perempuan sepertimu mau mengikuti itu. Aku tidak setuju ! Kau lebih cocok
bekerja di rumah, layaknya seorang perempuan. Kau tak pantas menjadi prajurit
yang terus-menerus mengikuti perang,” Odyssey langsung marah dengan pikiran
Alena yang seperti itu.
“Aku
tidak peduli. Aku akan berjuang mempertahankan hidup ini. Aku juga ingin tahu
informasi tentang orang berjubah hitam yang tak kukenal itu. aku tak mau dibuat
penasaran dengan tujuan mereka yang sebenarnya,” balas Alena yang juga mulai
ikutan memanas.
“Cih
! Kau itu… benar-benar keras kepala !”
“Eits…
cukup berantemnya,” tiba-tiba, Pantheronia muncul keluar rumah,
“maaf, aku tak bisa menemukan bukunya.”
“Pantheronia
! Ajari aku tentang teknik pedang !!” Alena langsung menarik baju Pantheronia.
“Eh,
kenapa tiba-tiba ?” tanya Pantheronia kebingungan.
“Pokoknya
ajari aku. Aku mau ikut wajib militer yang sama seperti Ody. Aku mau cari tahu
tentang kakakku dan juga si jubah hitam itu. Siapa tahu aku dapat sesuatu
tentang itu nantinya.”
“Jangan
kasih dia kesempatan, Pantheronia !!” teriak Odyssey yang menentang keinginan
Alena, “kalau dia ikut wajib militer, sama saja dia mau mencari mati !”
Pantheronia
diam sejenak sambil memikirkan perkataan mereka. Beberapa saat kemudian, ia pun
berbicara, “baiklah… aku akan memenuhi permintaanmu, Alena,” mendengar hal itu,
raut wajah Alena langsung berubah menjadi senang. Akan tetapi, Odyssey memasang tampang kesal.
Kemudian, Pantheronia berbicara lagi,
“Alena, Odyssey, kalian tak mungkin tinggal di sini terus-menerus. Pasti ada
hal yang ingin kalian cari. Lalu, perempuan yang mengikuti wajib militer juga
bukan masalah. Jadi, tergantung keinginan mereka, mau atau tidak. Nah, mulai
besok pagi, kita mulai latihannya dan sekarang, sebaiknya kalian tidur. Ayo
masuk kamar !!” Pantheronia pun mengajak mereka berdua masuk ke rumah dan kemudian
mengunci pintu rumah. Saking senangnya, Alena langsung berlari menuju kamarnya.
Sementara itu, Odyssey tetap berdiri di belakang pintu rumah.
“Odyssey,
kau pasti mengkhawatirkan Alena, kan ?” tanya Pantheronia.
“……
Memangnya nggak boleh ?” Odyssey seakan-akan menyangkal pertanyaan darinya.
“Boleh
saja sih. Jangan khawatir… Saat melihat matanya tadi, dia begitu percaya diri
dengan keinginannya dan karena itulah…”
“Karena
itulah ?...” Odyssey menjadi bingung.
“Karena
itulah, suatu saat nanti kau harus melindunginya.”
“Apa
maksudmu ? Aku jadi tak mengerti.”
“Nanti,
kau pasti akan mengalaminya…”
Esok paginya, Alena, Odyssey dan Pantheronia memulai latihannya di teras rumah. Sebelum dimulainya latihan, Alena pun bertanya.
“Pantheronia,
mana pedang untukku ?”
“Nih,
pakai ini dulu,” Pantheronia langsung melemparkan sebuah pedang ke arah Alena.
Dengan
sigap, Alena langsung menangkapnya, “Eh ? Kok bukan pedang besar ? Kenapa kau
pakai pedang besar sih ?” Alena langsung tidak puas.
“Untuk
pemula, latihan pakai yang kecil dulu. Kalau teknikmu sudah bagus, boleh pakai
yang besar. Yuk, kita mulai latihannya dan Odyssey, sementara ini kau latihan
sendiri dulu.”
“Oke,
baiklah…” Odyssey mulai menjauhi mereka berdua namun masih berada di tempat
yang sama. Sementara, Alena dan Pantheronia mulai bersiap-siap memulai
latihannya.
“Hm…
sebelum dimulai, aku akan mengungumkan peraturan latihannya. Pertama-tama, kau
serang aku lebih dulu. Dalam latihan, kau tak boleh melukai lawan, kecuali
dalam perang nantinya. Supaya bisa menang, kau harus bisa memutuskan ikat
kepalaku dengan pedangmu. Tapi, tak boleh melukaiku. Mengerti ?”
Alena
mulai ragu-ragu. Ia takut kalau ia berhasil memutuskannya, justru akan membuat
Pantheronia terluka. Tapi ia harus mencobanya, “Baiklah, aku mengerti,” tanpa
pikir panjang, ia langsung berlari dengan cepat
ke arah Pantheronia dan saat mendekatinya, ia pun mulai menyerang ke
arah depannya dengan pedang kecil di tangan kanannya. Tapi, dengan cepat
Pantheronia menangkis serangannya.
“Huh,
boleh juga. Kekuatan kakimu memang di luar dugaanku. Tapi, kalau soal
menyerang, gerakanmu dapat dibaca olehku,” Pantheronia langsung menghempaskan
serangannya hingga Alena terhempas jauh. Namun, Alena dapat menghentikannya
dengan kakinya.
“Untuk
pemula, kau bisa dibilang hebat, Alena. Biasanya, kalau ada orang asing yang melawanku,
tak akan bisa selamat,” Pantheronia langsung berlari menuju ke arah Alena
dengan kecepatan yang tak bisa diukur. Saat serangan mulai mendekat, Alena
berhasil mengelaknya.
“Uh
! Gimana caranya aku bisa menyerangnya ? Kecepatan bahkan kekuatannya… aku tak
bisa mengukurnya. Apa yang harus kulakukan ?” Alena pun berpikir. Namun,
Pantheronia mulai mendekatinya lagi, “Ah, aku tahu !” Pantheronia pun memulai
serangan dengan pedang besarnya. Tapi… dengan dua jari menekuk dari tangan
kosong kirinya, Alena mulai mengarahkan jarinya ke arah mata Pantheronia.
“!!?
A-apa !?” Pantheronia terkejut melihatnya. Saat dua jari di arahkan ke matanya,
dengan cepat Alena langsung menekuk kembali jarinya dan pedang kecil di tangan
kanannya pun memutuskan ikat kepala Pantheronia dari samping kepalanya tanpa
membuatnya terluka. Pantheronia tidak habis pikir kalau Alena bisa membuatnya
terkecoh dengan tindakannya yang seperti itu. sementara itu, Odyssey tiba-tiba
berhenti dari latihannya karena terpana melihat Alena yang berhasil mengalahkan
Pantheronia.
“Wow
! Hebat juga Alena ! Baru pertama kali saja, dia bisa berhasil,” katanya sambil
tersenyum.
“Horeee
!!! Aku menang !!!” teriak Alena kegirangan sambil memegang ikat kepala
Pantheronia.
“Ck
ck ck… selamat, kau berhasil mengalahkanku melalui latihan perdanamu.
Ngomong-ngomong, kau tahu teknik dua jari itu dari mana ?” tanya Pantheronia
penasaran.
“Oh…
Kakakku yang mengajarkanku. Katanya, almarhumah ibu yang mengajarinya agar ia
dan juga aku bisa bertahan hidup, walaupun tidak mempunyai pedang untuk melawan
musuh.”
“Oh
begitu… Nah selanjutnya, kau boleh latihan mengayunkan pedang. Tapi tentu saja
tidak dengan pedang besar,” kata Pantheronia sambil membalikkan badan ke arah
Odyssey, “oi, Odyssey ! Kok kau bengong saja dari tadi ? Cepat mulai ! Kalau
tidak, aku buat kau babak belur !”
“I-iya
!!” Odyssey ketakutan mendengar ancaman Pantheronia dan ia pun langsung memulai
latihannya.
“Alena,
tunggu apa lagi ? Cepat mulai !”
“Baik
!!” akhirnya, mereka berdua memulai latihannya dan pastinya dengan pengawasan
Pantheronia.