Prologue
Begitu gelap
dan juga dingin. Sebuah lorong sempit menjadi tempat
tinggal bagi dua bersaudara yatim piatu,
yang pada saat itu mereka sedang tertidur di sudut lorong dan tiba-tiba sang
adik menggigil kedinginan hingga sang kakak terbangun. Sang kakak beranjak dari
tidurnya dan mulai memastikan keadaan adiknya itu.
“Astaga… kau demam,
Alena,” sang kakak menaruh tangan kanannya di atas dahi adiknya yang ternyata lebih
panas dari biasanya, “ini pasti karena lingkungan tempat tinggal kita seperti ini.
Apalagi sekarang sedang musim hujan. Mari kita pergi berobat ke tempat dokter,”
ia mulai menarik tangan adiknya.
“Jangan…” namun,
Alena mencegah keinginan kakaknya untuk pergi sambil menarik kembali tangan
kakaknya, “tidak usah, kak… Besok, pasti aku sembuh. Jangan khawatirkan
keadaanku.”
Sang kakak pun
menghela napas, “Bagaimana bisa aku tidak mengkhawatirkanmu ? Alena, kau
satu-satunya adikku. Aku tidak mau kehilangan orang yang aku sayangi seperti
halnya ayah dan ibu yang telah meninggalkan kita berdua.”
Mendengar perkataan
kakaknya, Alena mulai berpikir sejenak dan kemudian kembali membalas, “Walaupun
ingin berobat, kita sama sekali tidak memiliki uang. Bahkan untuk makan saja,
kita harus mengemis kepada orang-orang yang tak pernah peduli dengan keberadaan
kita.”
Sang kakak kembali
menghela napasnya dengan panjang dan kembali membalas perkataan Alena, “…
Baiklah, aku akan mencari uang sebanyak mungkin. Lalu, kau tunggu di sini saja
dulu. Aku berjanji untuk kembali ke sini lagi,” sang kakak langsung meninggalkan
Alena sambil berlari dengan cepatnya keluar dari lorong tersebut.
Melihat kegigihan sang
kakak mencari uang, dengan kedua tangannya mulai menggenggam satu sama lain,
sambil berbaring Alena berdoa, “Ya Tuhan, berilah perlindungan kepada kakakku.
Semoga ia selamat dan kembali ke sini lagi.”
m
Waktu terus
berjalan hingga petang menjelang. Langit biru yang lumayan cerah di pagi hari
berganti menjadi jingga kekuningan di senja hari. Dari pagi, Alena tak bisa
tidur karena terus memikirkan keadaan sang kakak dan lapar pastinya. Hanya
berbaring dan tak ada berbuat apa pun.
“Kenapa kakak lama sekali ? Apa ada terjadi sesuatu padanya
?...” tiba-tiba, ia dikejutkan dengan teriakan histeris dari orang-orang di
luar lorong. Mendengar itu, Alena langsung beranjak dari tempat di mana ia
berbaring dan menuju keluar lorong.
Setelah keluar
dari lorong yang sempit itu, Alena melihat sekumpulan orang-orang berlari
menuju ke jalan keluar desa. Dari raut wajah mereka terlihat seperti ketakutan
yang seakan-akan dikejar oleh sesuatu yang menyeramkan. Ia pun memanggil bertanya
kepada salah seorang dari mereka.
“Ada apa dengan kalian ? Kenapa kalian ketakutan sekali ? Apa
ada sesuatu ?”
“Cepat lari keluar desa, Nak ! Monster itu akan menghancurkan
tubuhmu !!” lalu, orang itu langsung pergi meninggalkan Alena begitu saja.
“Monster ? Hei, tunggu !!”
Tak lama
kemudian, orang-orang desa yang berlari tadi tiba-tiba gerakannya berhenti dan tak
sampai hitungan beberapa detik, tubuh mereka hancur seolah terpotong oleh pisau
daging yang tajam hingga darah keluar dengan derasnya membasahi tanah bahkan
rumah-rumah yang ada di desa itu. Melihat hal itu, Alena terpaku di tempat di
mana ia berdiri dan langsung syok. Keringat begitu banyak keluar dari wajahnya
dan tubuhnya bergetar sedemikian hebat karena perasaan takut yang mencekam. Ia
tak bisa melangkahkan kakinya bahkan melarikan diri, atau bersembunyi dari
“monster” yang membunuh penduduk desa. Hanya menunduk yang bisa dilakukannya.
Tak disadari olehnya,
tiba-tiba seseorang berjubah hitam telah berada di sampingnya. Tentu saja, Alena langsung terkejut dengan
keberadaan orang itu yang telah dekat dengannya. Kemudian, orang itu pun
bertanya, “Anak kecil, siapa namamu ? Kenapa kau belum mati terkena seranganku
? Apa jangan-jangan kau salah satu dari prajurit generasi ketujuh ?”
“Generasi ketujuh
?...” pikirnya. Mendengar pertanyaan itu saja, ia tak bisa memusatkan pikiran
untuk menjawab atau mengadahkan kepalanya di hadapan seseorang tak dikenalnya.
Ketakutan membuatnya tidak bisa membuka mulutnya untuk menjawab pertanyaan si “monster”
itu.
“Hm… Kenapa tidak
menjawab ? Kau takut padaku ? Huh, baiklah… bertanya pada anak kecil sepertimu
hanya menghabiskan waktuku saja. Untuk sementara ini aku akan membiarkanmu
hidup, tapi untuk selanjutnya tak akan seperti dulu lagi,” orang itu langsung
menghilang dari hadapannya hingga Alena mulai mengadahkan kepalanya dengan
hati-hati.
“Hosh… hosh… hosh…” Alena mulai
mengatur napasnya, “siapa orang itu ? Apa maksudnya dengan “generasi ketujuh”
?...” tiba-tiba, ia mulai berpikir dengan keberadaan sang kakak saat ini, “oh
iya… bukan saatnya aku terus-terusan di sini. Aku harus mencari kakak sekarang
!!” ia langsung berlari ke arah dalam desa.
m
Sementara itu,
di luar desa, seorang yang berjubah hitam yang bertemu dengan Alena, kini
melihat desa itu dari kejauhan. Pada saat itu juga, seseorang berjubah hitam
yang lain datang menghampirinya dan bertanya.
“Bagaimana ? Kau
telah menemukannya ?”
“Tidak… Sama sekali
tidak ada. Cih, membuang-buang waktu saja,” jawabnya dengan nada kesal dan
mulai melanjutkan pembicaraan lagi, “tapi… aku menemukan hal menarik,” senyuman
langsung menghiasi wajahnya.
“Apa itu ?” tanyanya
dengan penuh penasaran.
“Mungkin ini
cuma dugaanku saja. Saat aku menyerang penduduk desa, ada anak kecil yang tidak
termakan oleh seranganku. Padahal jangkauan seranganku telah sampai padanya.
Tapi tak ada luka sedikit pun mengenai tubuhnya.”
“Apa katamu ?
Bagaimana bisa ? Kau tidak jadi membunuhnya ?” ia kembali bertanya dengan nada
kesal.
“Tidak, aku tidak
membunuhnya. Aku juga heran kenapa anak kecil itu bisa tidak terkena seranganku,”
ia kembali tersenyum, “kemungkinan, anak itu salah satu dari generasi terakhir.
Tapi, jangan khawatir. Jika dia sudah besar, aku pasti akan membunuhnya dan dia
pasti juga melakukan hal yang sama…”
“….. Kalau itu
maumu…” tiba-tiba, ia mulai merasakan kehadiran orang lain yang mulai begitu
cepat menuju ke tempat mereka berdiri, “Cih… Hounan, ayo cepat pergi !
Sepertinya “dia” mulai menuju ke sini.”
“Mengganggu saja.
Baiklah, kita pergi dari sini, Mahoroba…” mereka berdua langsung menghilang
begitu saja dari sana.
Tak lama kemudian, munculah
seorang wanita berambut pirang panjang dan berjubah putih sambil membawa pedang
besarnya menuju ke tempat dua orang tadi, “Aneh. Barusan aku merasakan energi
dari dua orang. Tapi tiba-tiba mereka menghilang begitu saja,” katanya sambil
melihat desa itu dari kejauhan dan mulai mencium sesuatu, “… Bau amis… baunya
yang begitu tajam tercium dari sini. Jangan-jangan…” tanpa pikir panjang, ia
langsung bergegas menuju desa itu.
m
Menyusuri
jalanan tanpa henti, Alena terus berusaha mencari kakaknya. Kini, jalan telah penuh
dengan genangan darah dan hamparan mayat-mayat bergelimpangan begitu saja di tiap
sisi jalan. Hal itu membuat ketakutannya semakin besar ketika melihat keadaan
desa itu. Tubuhnya mulai terkulai lemas karena sama sekali belum makan dari
tadi pagi dan persediaan makanan di tempat tinggalnya telah habis. Tak lama
kemudian, akhirnya ia pun jatuh tersungkur di antara banyak mayat dan genangan
darah. Kepalanya terasa mau pecah dan bayangan kabut gelap mulai menyelimuti
matanya.
“…Sa-sama sekali tidak pernah aku lihat pe-pemandangan
menakutkan seperti ini… Ugh… kakak, jangan mati… se-sepertinya, aku sudah tak
mampu untuk berdiri lagi……” kemudian, ia langsung tak sadarkan diri.
Sementara itu,
wanita berambut pirang tadi telah sampai di desa yang baru saja dibantai.
Sambil menyusuri tiap jalan, ia pun memerhatikan keadaan sekitar yang begitu
menyedihkan dan menyesakkan dada baginya, “Sudah kuduga… ternyata memang ada
yang tidak beres dengan keadaan di sini. Keterlaluan sekali mereka membunuh
orang-orang desa yang tak berdosa dan tak tahu apa-apa,” wanita itu pun
langsung memejamkan matanya dan melalui kekuatan yang dimilikinya, mulai
merasakan suatu energi yang begitu lemah, “Syukurlah masih ada yang hidup. Aku
harus cepat menemukannya,” dengan langsung wanita itu pergi ke tempat yang
dicarinya melalui kekuatan itu.
Beberapa saat
kemudian, akhirnya ia sampai juga di tempat tujuan. Di mana-mana hanya terlihat
pemandangan berupa seonggok daging para mayat dan genangan darah yang telah
menyebar ke hampir seluruh sisi jalan dan di antaranya, ia melihat seorang
perempuan kecil yang ternyata adalah Alena, tergeletak begitu saja di sana,
“Hm… jadi, anak ini yang masih hidup ? Tapi, tak ada luka sedikit pun yang
mengenai tubuhnya. Sepertinya dia hanya pingsan. Baiklah, aku akan membawanya
ke rumahku dan tempat ini sudah tidak aman lagi baginya,” kemudian, wanita itu
membawa Alena pergi meninggalkan desa itu.
m
Perlahan-lahan
Alena mulai membuka kedua matanya. Langit-langit rumah yang terbuat dari kayu
yang dilihatnya saat ini, bukanlah
pemandangan menakutkan di desa yang terakhir kali ia lihat. Alena
langsung sadar kalau tempat ia berada sekarang bukanlah di desa. Ia langsung
bangun dari tempat tidurnya dan tiba-tiba terdengar suara wanita yang berbicara
kepadanya, “kau sudah sadar rupanya…”
“Eh ? Siapa
kau ? Tempat apa ini ?” tanyanya kepada seorang wanita yang belum pernah ia
temui sebelumnya.
“Namaku Pantheronia.
Sekarang kau berada di rumahku. Akulah yang membawamu dari desa itu ke sini,”
jawabnya dan ia pun mendekati Alena di samping tempat tidurnya.
“Membawaku
dari desa ? Kenapa kau cuma membawaku ? Bagaimana dengan kakakku ?” ia pun
melontarkan pertanyaannya bertubi-tubi kepada Pantheronia.
“Jadi kau
punya kakak ? Saat aku datang ke desamu, tak ada satu pun yang kurasakan energi
lain selain kau, bocah kecil,” godanya.
“Bocah kecil,
katamu ? Umurku sudah 10 tahun dan namaku Alena ! Ingat itu baik-baik !!” ia
pun marah karena mendapat panggilan seperti itu.
“Hehehehe… kau
lucu ternyata. Walaupun kau sudah berumur 10 tahun, umurku justru lebih tua
darimu dan sikapmu yang seperti itu tetaplah menunjukkan kalau dirimu itu
memang bocah kecil, Alena…,” Pantheronia pun tak bisa menahan ketawanya dan
Alena semakin kesal dibuatnya, “Baiklah, aku mulai serius sekarang,”
Pantheronia langsung mengentikan tawanya, “Aku mau bertanya, siapa yang telah
berbuat kejam di desamu ?”
Mendengar
pertanyaan itu, Alena langsung diam sejenak dan tak lama kemudian ia mulai berbicara,
“Orang-orang desa telah dibunuh oleh “monster” itu.”
“Monster,
katamu ? Memangnya seperti apa wujudnya ?”
“Yang aku
lihat, dia hanya berwujud manusia yang berjubah hitam. Aku yakin, dialah yang
telah membunuh penduduk desa. Saat penduduk desa yang berusaha melarikan diri darinya,
tiba-tiba tubuh mereka hancur begitu saja dan darah muncrat keluar dengan kuat
pun membasahi tanah desa, tapi…kenapa justru aku tak terkena serangannya ?
Padahal, aku yakin telah terkena. Kemudian, orang itu langsung menghampiriku
dan bertanya kepadaku, apakah aku ini termasuk “generasi ketujuh” ? Aku… aku
tak mampu untuk menjawab apa pun karena rasa takut yang mencekam. Karena aku
tak menjawab, ia pun berkata bahwa suatu saat ia akan membunuhku, dan langsung
menghilang begitu saja,” jawabnya dengan penjelasan panjang lebar dan kemudian
ia balik bertanya, “apakah kau tahu maksud dari “generasi ketujuh” itu ?”
“Generasi
ketujuh adalah generasi terakhir.”
“Apa !? Maksudmu
dunia akan kiamat ?” Alena sangat terkejut mendengarnya.
“Yah… mungkin
juga ada kaitannya dengan itu…,” Pantheronia kembali melanjutkan, “generasi
terakhir yang dimaksud adalah generasi yang sangat diharapkan oleh Sang Penjaga
Gerbang Barat, Rucserria.”
“Sang Penjaga
Gerbang Barat… Rucserria ?”
“Ya, dialah
yang telah memberikan kekuatan kepada tiap-tiap generasi prajurit pilihannya.
Bukti bahwa termasuk prajurit pilihannya adalah simbol di dahi mereka.”
“Simbol di
dahi ? Ceritakan padaku lebih lanjutnya…” kata Alena dengan penuh penasaran.
“Tujuan
Rucserria memberikan kekuatan kepada mereka adalah melindungi tanah benua
Crosscetta ini dari musuh kita di benua utara, Sukushiha clan, dan… tujuan prajurit pilihan yaitu melindungi para
rakyat dari bencana musuh dan juga… kuil suci Vallegrand yang letaknya di pusat
benua ini, tempat di mana Rucserria berdiam diri.”
“Eh ? Kenapa
kuil suci seperti itu harus dilindungi ?”
“Hm…
pertanyaanmu ingin membuatku naik darah saja,” jawab Pantheronia mulai dengan
nada kesal, “kenapa harus dilindungi ? Justru kuil itulah menjadi tujuan utama Sukushiha clan menyerang kita. Mereka
menganggap kuil itu dulunya merupakan tempat di mana mereka berkuasa saat itu.
tapi, seiring bertambahnya waktu, akhirnya mereka berhasil dikalahkan oleh
prajurit generasi keenam.”
“Meskipun
mereka telah dikalahkan, apa tujuan adanya generasi ketujuh ? Apa…apa akan ada
kelanjutan perang melawan Sukushiha clan
?”
“Entahlah… aku rasa… aku rasa bisa
lebih dari yang kau bayangkan, Alena…” jawabnya dengan nada mulai melemah, “ya
sudahlah, capek juga berbicara panjang lebar. Ah, aku baru ingat. Tadi aku
sudah memasakkan sup buatmu. Tapi, sepertinya sup yang kuhidangkan mulai
dingin.”
“Tidak
apa-apa…” perkataan Alena membuat Pantheronia kebingungan, “aku tidak apa-apa
kalau makan sup yang mulai dingin… Soalnya, dari tadi pagi aku belum makan.”
“Baiklah, ayo
kita pergi ke ruang makan,” kata Pantheronia dan mereka berdua pun makan
bersama.
To Be Continued