Minggu, 30 Desember 2012

Characters of The Seven Clans -The Last Blood Existence-


Yup ! Ini dia tokoh utama dari cerita The Seven Clans -The Last Blood Existence-,
 "Alena" (Adult version)
Maaf, kalau masih kurang memuaskan atau bagaimana
Yang penting aku sudah berusaha membuatnya ^^... 
Kalau tokoh lainnya belum sempat bikin...
Kalau ada waktu, aku akan bikin sebisa mungkin ^,^

Sabtu, 08 Desember 2012

Chapter 1 -Childhood-


Chapter 1
Childhood
          Masuknya sinar matahari yang menerangi kamarnya menandakan pagi telah tiba. Alena yang tetap tidak beranjak dari tempat tidurnya--membalikkan posisi badannya untuk menghindari sinar yang menyentuh wajahnya. Tiba-tiba, semburan air entah datang dari mana langsung mengenai wajahnya dan langsung membuka matanya.
          “Oi. Bangun, Bodoh ! Sampai kapan mau tidur terus ?” tanya seorang anak laki-laki yang berambut cokelat muda nyentrik dan berkulit gelap yang belum pernah ditemuinya, telah mengguyur wajah Alena dengan sebuah ember berukuran sedang.
          “GRRR !!! SIAPA KAU ??? BERANI-BERANINYA KAU BILANG AKU “BODOH” !!” ia sangat marah karena telah dibangunkan dengan panggilan seperti itu.
          “Odyssey, Alena, apa yang telah kalian lakukan ?...” Pantheronia langsung datang ke kamarnya.
          “Oi, Pantheronia. Siapa sih perempuan bodoh yang kau bawa ini ?” tanya Odyssey sambil menunjuk-nunjuk Alena. Tentu saja hal ini membuat Alena makin tambah marah.
          “Kurang ajar kau nunjuk-nunjuk orang seperti itu ! Tidak akan kumaafkan !!” Alena pun langsung meluncurkan kepalan tinju ke arah wajah Odyssey. Tapi, dengan sigap, Pantheronia langsung mencegah pukulannya.
          “Cukup !! Odyssey, bagaimana kau ini ? Aku kan sudah bilang kalau membangunkan orang itu dengan cara yang benar !! Odyssey, cepat minta maaf ! Alena, mohon maafkan dia. Anak ini memang kasar, tapi sebenarnya baik kok…” kata Pantheronia sambil mengacak-acak rambut Odyssey.
           “Mana mau aku minta maaf sama cewek bodoh dan jelek itu !!” katanya dengan nada kesal. Odyssey langsung berlari begitu saja meninggalkan Alena dan Pantheronia.
          “Alena, maafkan aku karena belum cerita kepadamu. Sebenarnya aku mengambilnya sejak satu tahun yang lalu. Desanya yang terletak di utara wilayah Panther clan ini, juga dibantai oleh sekumpulan orang yang tak dikenal dan pada saat itu aku sedang ada keperluan di kota yang dekat dari  desanya,” Pantheronia menceritakan tentang Odyssey dan kemudian, ia kembali melanjutkan, “ketika mau pulang, aku melihat kumpulan asap hitam pekat di langit dan mengira kalau itu kebakaran, kemudian langsung mencari sumber kebakaran itu. Tapi, di tengah perjalanan, aku menemukannya pingsan di tengah hutan dan akhirnya aku membawanya ke sini. Aku tahu desanya yang seperti itu dari orang-orang yang telah berhasil menyelamatkan diri dari sana.”
          Alena pun menyambung pembicaraan, “Ada satu hal yang ingin aku tanyakan padamu.”
          “Apa itu ?”
        “Kenapa dia mengejekku “Bodoh, Jelek” ? Padahal aku baru saja bertemu dengannya dan bahkan mengejeknya saja belum ada.”
         “Aku rasa… dia tak suka kehadiran orang lain… Tapi tenang saja, aku yakin kau dan dia pasti bisa berteman dengan baik,” setelah menjawab pertanyaannya, Pantheronia pun langsung meninggalkan kamar Alena.
          “Berteman dengan baik dengannya ?”
m
          Beberapa saat kemudian, Odyssey sedang menyapu teras rumah. Sambil menyapu, raut wajahnya terlihat kesal dengan keberadaan Alena di rumah Pantheronia.
          “Sial ! Kenapa sih Pantheronia bawa cewek asing bodoh itu ? Udah gitu, jelek lagi, mukanya kumal banget, rambutnya juga urak-urakan,” gerutu Odyssey yang sedang memukul sapunya berkali-kali hingga banyak debu berterbangan, karena saking kesalnya.
          “Ck ck ck… bagus sekali kau ngomongin orang kayak gitu !” Odyssey kaget mendengar suara itu dan… satu pukulan keras mengenai pipinya hingga memar.
          “Cewek bodoh !!! Berani-beraninya kau memukulku !!! Kau kira aku bakal segan dengan cewek sepertimu ?” ternyata yang memukulnya adalah Alena dan Odyssey mulai bersiap-siap mengepalkan kedua tangannya hingga terdengar bunyi-bunyi tulang jari mengertak yang begitu keras.
          “Berhenti memanggilku “Bodoh” !! Aku punya nama, tahu !! Namaku Alena !! Kalau kau mau membalas tinjuku, ayo tinju pipiku juga sekarang !!” dengan nekatnya, ia pun memberanikan diri untuk menghadapi serangan balasan. Ketika serangan Odyssey mulai mendekati wajahnya, tiba-tiba saja ia menghentikan serangannya. Sementara itu, Alena juga tak gentar menghadapinya malah merasa heran, “Kenapa… kenapa tidak jadi memukulku ?”
          “…… Laki-laki yang memukul seorang perempuan adalah tindakan seorang pengecut. Itu kata ibuku…” Odyssey langsung saja meninggalkan Alena sambil masuk ke dalam rumah.
m
          Siang harinya, Pantheronia baru saja pulang dari pasar sambil membawa belanjaannya. Lalu, Alena pun menyambut kedatangannya dan membantunya membawa hasil belanjaannya.
          “Oh… kau tidak usah membawanya, Alena. Biar aku saja. Soalnya kan berat,” ucap Pantheronia sambil tersenyum.
          “Eh… tidak juga kok. Aku ingin sekali membantumu dan aku juga ingin  belajar masak. Soalnya waktu aku dan kakakku masih tinggal bersama, hanya kakakku yang bisa memasak,” balasnya dengan raut wajah sedih.
          “Eh… ma-maafkan aku. Aku tak bermaksud melarangmu,” Pantheronia malahan meminta maaf kepada Alena karena telah mengingatkan masa lalunya dan juga tak tahan melihat raut wajahnya yang seperti itu, “Baiklah, kau boleh membantuku. Hm… ngomong-ngomong, di mana Odyssey ? Biasanya dia juga sering membantuku memasak,” tanyanya dengan penuh keheranan.
          “Odyssey ? Maksudmu cowok bodoh itu ? Aku rasa dia ada di kamarnya. Biar aku yang memanggilnya.”
          “Eh, tunggu ! Memangnya kau tahu di mana kamarnya ?”
          “Tenang saja. Sebagai anggota Panther clan, indera penciuman merupakan salah satu keistimewaan yang kita miliki. Mana mungkin aku tidak tahu kamarnya,” kata Alena dan langsung mencari kamar Odyssey dengan mengandalkan indera penciumannya.
          Rumah Pantheronia tidaklah besar, sehingga Alena mudah menemukan kamar Odyssey yang letaknya tak begitu jauh dari kamarnya. Sebelum memasuki kamarnya, diketuknya pintu kamar itu sebanyak tiga kali sambil memanggil namanya.
          Sudah tiga kali ia mengetuk dan memanggilnya, tapi--hasilnya nihil. Ia pun mencoba mengulang hal sebelumnya untuk yang keempat kalinya namun hasilnya tetaplah sama. Akhirnya ia berpikir, “Kenapa dia tak menjawab bahkan membuka pintunya ? Coba aku dobrak saja pintunya,” Alena mulai berjalan mundur beberapa langkah dan berlari, dengan cepat langsung mendobrak pintu dengan badannya. Akhirnya berhasil juga pintu terbuka dengan paksa. Namun, Odyssey tak ada di sana rupanya.
          “Lho ? Ke mana dia ? Padahal aku yakin tadi dia menuju ke sini,” kemudian Alena melihat sebuah jendela yang begitu besar di sudut kamar itu terbuka dan berpikir bahwa kemungkinan Odyssey pergi keluar melalui jendela kamarnya.
          “Alena, Odyssey ada di kamar ?” tanya Pantheronia yang baru saja tiba di depan pintu kamar Odyssey.
          “Dia tidak ada di sini. Biar aku yang mencarinya,” ia pun langsung berlari begitu saja melalui jendela yang terbuka itu. Pantheronia bahkan tak sempat mencegahnya.
          “Fuuh… dasar anak-anak”
m
          Mengandalkan indera penciuman dan berlari sekuat-kuatnya menuju hutan terdekat rumahnya tanpa henti, akhirnya Alena mulai menemukan jejaknya. Begitu sampai di tempat tujuan, ternyata Odyssey ada di sana. Ia sedang berlatih dengan sebuah pedang besar. Teknik mengayunkan pedangnya membuat Alena terpesona melihatnya. Menyadari keberadaannya, Odyssey langsung menghentikan gerakannya dan menoleh ke arah Alena.
          “Ada perlu apa mencariku, cewek bodoh ?”
       “Berhentilah memanggilku dengan sebutan seperti itu ! Aku dan Pantheronia mencemaskanmu, tahu ! Ayo pulang ! Di sini tidak aman kalau sendi--,” belum selesai berbicara, tiba-tiba mulutnya dibungkam oleh seorang laki-laki yang berbadan tinggi besar yang muncul di belakangnya.
          “Alena !!!” Odyssey terkejut melihatnya dan tak disadarinya, munculah lima pria berbadan besar dengan tampang yang menakutkan, berdiri di belakangnya.
          “Wah, wah. Bocah kecil sepertimu sudah jago melakukan teknik pada pedang besar itu dan… kami ingin tahu seberapa besar kemampuanmu,” kekeh salah satu dari mereka. Mendengar itu, Odyssey langsung menoleh ke belakang.
          “Cih ! Badut-badut seperti kalian ini siapa…”, tiba-tiba, Odyssey  mendapat tendangan begitu kuat salah satu dari mereka yang lainnya hingga terpental jauh membentur sebuah pohon besar yang ada di sana. Ia begitu lengah dengan kehadiran lawan.
          “Uuuggh…” Odyssey pun perlahan-lahan berusaha untuk bangkit, meski harus menahan sakit di perutnya akibat tendangan tadi.
          Melihat hal itu, dengan mulut yang masih dibungkam, dengan sekuat tenaga, Alena menggigit keras tangan pria itu hingga akhirnya terlepas juga dari bungkaman. Alena langsung berlari menuju ke tempat Odyssey, “Ody, Ody !!!” tak sanggup menahan akhirnya air matanya keluar juga karena sangat menghawatirkan keadaan Odyssey. Laki-laki yang berada di belakangnya berusaha mengejarnya.
          “Dasar bodoh !! Cepat menghindar !! Di belakangmu…. !!!” salah satu di antara mereka yang lainnya dengan cepatnya langsung menginjak kepala Odyssey sampai menyentuh tanah. Sementara itu, Alena juga berhasil ditangkap kembali.
          “Jangan sok, Bocah ! Kenapa kau diam saja melihat perempuan itu ?  Kasihan sekali, kau tidak ada nyali sedikit pun untuk melawan kami… HAHAHAHAHAHAHA !!!!”  orang itu makin menekankan kakinya ke kepala Odyssey dan Odyssey hanya menahan rasa sakit yang dideritanya.
          “Kalian semua, bunuh saja anak laki-laki itu !!! Lalu, anak manis ini kita jadikan saja dia sebagai budak !!!” kata laki-laki yang telah berhasil menangkap Alena kembali dan yang lainnya beramai-ramai mulai mendekati Odyssey. Mereka semua mulai mengeluarkan senjatanya dan mengarahkannya ke tubuh Odyssey. Namun…
          “Tidak akan kumaafkan !...” tiba-tiba saja gerakan para laki-laki itu  terhenti, sekejap langsung jatuh dan tak sadarkan diri. Odyssey melihatnya penuh keheranan.
          “Eh !? Pantheronia !? Kok… kok bisa tahu kami di sini ?” tanya Odyssey sambil terkejut karena Pantheronia muncul begitu saja di hadapannya.
          Sementara itu, Alena sudah bebas dari cengkraman laki-laki itu dan mulai berjalan mendekati mereka berdua dan bertanya, “Ody, kau baik-baik saja ? Terima kasih, Pantheronia, Engkau telah menolong kami. Tapi… apa yang kau lakukan pada mereka ?” Alena langsung menunjuk kumpulan laki-laki itu yang sedang tak sadarkan diri.
          Pantheronia pun menjawab pertanyaan mereka, “Bau kalian berdua kan sudah aku kenal. Jadi aku pasti tahu dengan jejak kalian. Kemudian, yang aku lakukan pada mereka adalah menekan pusat kesadarannya itu. Sehingga mereka tak sadarkan diri. Selain itu juga, aku harus menghapuskan memori mereka tentang kalian berdua. Soalnya akan lebih repot jika mereka mengincar kalian lagi,” kemudian, ia pun menghampiri masing-masing laki-laki itu dan mulai menempelkan telapak tangannya ke atas kepala mereka. Tak lama kemudian, cahaya putih muncul dari tangannya dan seakan-akan cahaya itu menyerap sesuatu dari kepala mereka. Melihat itu, Alena dan Odyssey makin dibuat bingung.
          “Ody, apa sih yang dilakukannya ?”
          “Entahlah… Aku juga tidak tahu. Yang penting, kita diselamatkan olehnya, kan ?” balas Odyssey sambil tersenyum dan Alena terkejut.
          “Kau bisa senyum ternyata… hehehehe. Aku kira kau bakal marah terus padaku. Maafkan aku. Maafkan perbuatanku tadi dan juga telah menyusahkanmu…” katanya sambil menundukkan kepala.
          “Akulah yang harusnya minta maaf padamu,” balasnya sambil menepuk bahunya dan Alena langsung mengadahkan wajahnya, “aku… aku memang awalnya tak menyukai kehadiranmu. Tapi…” entah kenapa tiba-tiba saja wajahnya langsung memerah. Sedangkan, Alena melihatnya penuh dengan tatapan keheranan.
          “Odyssey, wajahmu merah tuh…” goda Pantheronia sambil menunjuk-nunjuk pipi Odyssey. Mereka berdua terkejut dengan kehadirannya yang tiba-tiba.
          “Mana ada wajahku merah !! Pantheronia, sejak kapan kau muncul di sini ?? Hampir saja aku mengalami henti jantung gara-gara kau !!” ia pun menyangkalnya dan Pantheronia langsung tertawa terbahak-bahak. Melihat mereka seperti itu, Alena pun senang.
          “Oh iya. Aku baru ingat ! Aku tadi ke pasar membeli daging buat kalian. Yuk, kita pulang ke rumah. Aku akan membuat masakan yang paling enak untuk kalian,” Pantheronia langsung memberikan kedua tangannya kepada Odyssey dan Alena. Mereka berdua langsung menyambut tangannya. Sambil bergandeng tangan bersama-sama, akhirnya mereka pun pulang ke rumah.
m
          Pada malam harinya, segala aktivitas rutin yang dilakukan oleh mereka pada hari itu telah selesai. Sebelum memasuki kamarnya, Alena pergi menuju ke teras rumah untuk mencari udara segar. Sesampainya di sana, ternyata sudah ada Pantheronia dan Odyssey yang sedang duduk sambil melihat langit malam yang begitu cerah dan bintang-bintang di sana juga menghiasi langit itu.
          “Oh, Alena. Kau belum tidur juga ?” tanya Pantheronia.
         “E-eh, aku ingin mencari udara segar dulu di sini. Lagipula, aku juga belum bisa tidur,” jawabnya dan kemudian duduk di samping Pantheronia. Sedangkan, Odyssey tetap tak bergeming.
          “Langit yang indah…” kata Pantheronia sambil melihat langit malam, “tapi, sebentar lagi bulan purnama akan muncul. Coba lihat bulan itu, bulannya sudah cembung. Sekitar 1-2 hari lagi mungkin sudah muncul dan itu pun kalau tidak ada hujan.”
          “Apakah yang kau maksud itu…tentang “karma” ?”
         “Ya. Sebuah karma di mana dalam malam purnama, wujud kita berubah tak seperti manusia lagi. Melainkan seekor Panther. Kita semua yang merupakan anggota Panther clan, akan mengalami fase seperti itu setiap bulannya.”
          “Begitu ?... Pantheronia, aku mau tanya. Kenapa kita bisa seperti itu ?” tanya Alena penasaran.
          “Ngg… Kenapa ya ??” Pantheronia pun berpikir keras untuk mengingat dan menjawab pertanyaannya dan malah mulai tanya ke Odyssey, “hei, Odyssey, kau tahu nggak kenapa.”
          “Aku juga nggak tahu. Justru itu juga yang ingin aku tanyakan.”
       “Ya ampun… kok aku jadi lupa ya ?” Pantheronia malah pusing sendiri sambil mengacak-acak rambutnya, “… kalau tak salah aku punya buku tentang karma pada tujuh klan. Kalian tunggu di sini ya, aku mau cari bukunya di kamarku,” Pantheronia pun masuk ke dalam rumah. Beberapa saat setelahnya, keheningan di antara Alena dan Odyssey masih menetap dan Pantheronia belum kembali juga. Tak lama kemudian, Alena pun angkat bicara.
          “Ody, bagaimana dengan luka di perutmu ?”
          “Ya… masih sakit sih. Tapi sudah mulai mendingan.”
        “Syukurlah,” kata Alena sambil tersenyum, “Ody, kan kita masih belum kenal satu sama lain, aku ingin tahu tentang dirimu. Ngomong-ngomong, kau berasal dari mana sih ?”
          “Aku berasal dari desa Cottagen, wilayah utara Panther clan. Kalau kau sendiri ?”
          “Aku… aku berasal dari desa Transvonia, wilayah selatan Panther clan. Memangnya kenapa kau bisa dibawa Pantheronia kemari ? Apa desamu dibantai oleh seseorang berjubah hitam ?”
          “Jubah hitam ? Entahlah, yang aku ingat hanya orang-orang desa dibantai secara tiba-tiba. Ayah dan ibuku menyuruh aku dan kakak untuk melarikan diri dari desa… tapi, aku juga tak begitu ingat… saat melarikan diri, aku… berpisah dengan kakakku begitu saja.”
          “Oh… hampir sama denganku.”
          “Apa maksudmu ?”
        “Aku juga punya kakak, tapi kalau orang tua, sejak kecil aku bahkan tak pernah tahu wajah mereka. Kakakku bilang kalau mereka sudah meninggal. Setelah terjadi insiden yang sama denganmu pada waktu itu, aku tak bisa menemukan kakakku dan saat itu juga, aku sedang sakit dan kakakku pergi mencari uang tapi belum kembali juga. Kenapa… kenapa hal itu bisa terjadi ?” raut wajah Alena mulai berubah.
          “Jangan pernah menyesali dengan hal-hal yang pernah kau lalui.”
          “Eh ?” Alena langsung tersentak mendengarnya.
        “Jangan pernah menyesal. Kau harus bersyukur karena kau masih dapat melanjutkan hidup. Begitu juga denganku. Setelah aku berhasil menguasai teknik pedang yang diajarkan oleh Pantheronia, aku akan mengikuti wajib militer di ibu kota Panther clan, Sainscotta. Aku… aku akan mencari ayah, ibu, dan juga kakakku melalui pekerjaanku nantinya. Pasti !!” kata Odyssey dengan semangat yang meluap-luap. Melihatnya, Alena mulai berpikir, jika ia mengikuti wajib militer, ada kemungkinan ia bisa mendapatkan informasi mengenai keberadaan kakaknya. Kemudian, Alena pun membalas perkataannya.
          “Ody, aku akan mengikuti jejakmu !!”
          “Alena, apa maksudmu ?” tanya Odyssey kebingungan.
       “Aku akan mengikuti jejakmu. Aku mau mengikuti wajib militer juga. Dengan begitu, kemungkinan ada informasi mengenai di mana kakakku berada.”
          “Apa !? Perempuan sepertimu mau mengikuti itu. Aku tidak setuju ! Kau lebih cocok bekerja di rumah, layaknya seorang perempuan. Kau tak pantas menjadi prajurit yang terus-menerus mengikuti perang,” Odyssey langsung marah dengan pikiran Alena yang seperti itu.
          “Aku tidak peduli. Aku akan berjuang mempertahankan hidup ini. Aku juga ingin tahu informasi tentang orang berjubah hitam yang tak kukenal itu. aku tak mau dibuat penasaran dengan tujuan mereka yang sebenarnya,” balas Alena yang juga mulai ikutan memanas.
          “Cih ! Kau itu… benar-benar keras kepala !”
        “Eits… cukup berantemnya,” tiba-tiba, Pantheronia muncul keluar rumah, “maaf, aku tak bisa menemukan bukunya.”
          “Pantheronia ! Ajari aku tentang teknik pedang !!” Alena langsung menarik baju Pantheronia.
          “Eh, kenapa tiba-tiba ?” tanya Pantheronia kebingungan.
         “Pokoknya ajari aku. Aku mau ikut wajib militer yang sama seperti Ody. Aku mau cari tahu tentang kakakku dan juga si jubah hitam itu. Siapa tahu aku dapat sesuatu tentang itu nantinya.”
     “Jangan kasih dia kesempatan, Pantheronia !!” teriak Odyssey yang menentang keinginan Alena, “kalau dia ikut wajib militer, sama saja dia mau mencari mati !”
       Pantheronia diam sejenak sambil memikirkan perkataan mereka. Beberapa saat kemudian, ia pun berbicara, “baiklah… aku akan memenuhi permintaanmu, Alena,” mendengar hal itu, raut wajah Alena langsung berubah menjadi senang. Akan tetapi, Odyssey memasang tampang kesal.
        Kemudian, Pantheronia berbicara lagi, “Alena, Odyssey, kalian tak mungkin tinggal di sini terus-menerus. Pasti ada hal yang ingin kalian cari. Lalu, perempuan yang mengikuti wajib militer juga bukan masalah. Jadi, tergantung keinginan mereka, mau atau tidak. Nah, mulai besok pagi, kita mulai latihannya dan sekarang, sebaiknya kalian tidur. Ayo masuk kamar !!” Pantheronia pun mengajak mereka berdua masuk ke rumah dan kemudian mengunci pintu rumah. Saking senangnya, Alena langsung berlari menuju kamarnya. Sementara itu, Odyssey tetap berdiri di belakang pintu rumah.
          “Odyssey, kau pasti mengkhawatirkan Alena, kan ?” tanya Pantheronia.
    “…… Memangnya nggak boleh ?” Odyssey seakan-akan menyangkal pertanyaan darinya.
          “Boleh saja sih. Jangan khawatir… Saat melihat matanya tadi, dia begitu percaya diri dengan keinginannya dan karena itulah…”
          “Karena itulah ?...” Odyssey menjadi bingung.
          “Karena itulah, suatu saat nanti kau harus melindunginya.”
          “Apa maksudmu ? Aku jadi tak mengerti.”
          “Nanti, kau pasti akan mengalaminya…”    
m
          Esok paginya, Alena, Odyssey dan Pantheronia memulai latihannya di teras rumah. Sebelum dimulainya latihan, Alena pun bertanya.
          “Pantheronia, mana pedang untukku ?”
         “Nih, pakai ini dulu,” Pantheronia langsung melemparkan sebuah pedang ke arah Alena.
          Dengan sigap, Alena langsung menangkapnya, “Eh ? Kok bukan pedang besar ? Kenapa kau pakai pedang besar sih ?” Alena langsung tidak puas.
         “Untuk pemula, latihan pakai yang kecil dulu. Kalau teknikmu sudah bagus, boleh pakai yang besar. Yuk, kita mulai latihannya dan Odyssey, sementara ini kau latihan sendiri dulu.”
          “Oke, baiklah…” Odyssey mulai menjauhi mereka berdua namun masih berada di tempat yang sama. Sementara, Alena dan Pantheronia mulai bersiap-siap memulai latihannya.
          “Hm… sebelum dimulai, aku akan mengungumkan peraturan latihannya. Pertama-tama, kau serang aku lebih dulu. Dalam latihan, kau tak boleh melukai lawan, kecuali dalam perang nantinya. Supaya bisa menang, kau harus bisa memutuskan ikat kepalaku dengan pedangmu. Tapi, tak boleh melukaiku. Mengerti ?”
          Alena mulai ragu-ragu. Ia takut kalau ia berhasil memutuskannya, justru akan membuat Pantheronia terluka. Tapi ia harus mencobanya, “Baiklah, aku mengerti,” tanpa pikir panjang, ia langsung berlari dengan cepat  ke arah Pantheronia dan saat mendekatinya, ia pun mulai menyerang ke arah depannya dengan pedang kecil di tangan kanannya. Tapi, dengan cepat Pantheronia menangkis serangannya.
          “Huh, boleh juga. Kekuatan kakimu memang di luar dugaanku. Tapi, kalau soal menyerang, gerakanmu dapat dibaca olehku,” Pantheronia langsung menghempaskan serangannya hingga Alena terhempas jauh. Namun, Alena dapat menghentikannya dengan kakinya.
          “Untuk pemula, kau bisa dibilang hebat, Alena. Biasanya, kalau ada orang asing yang melawanku, tak akan bisa selamat,” Pantheronia langsung berlari menuju ke arah Alena dengan kecepatan yang tak bisa diukur. Saat serangan mulai mendekat, Alena berhasil mengelaknya.
      “Uh ! Gimana caranya aku bisa menyerangnya ? Kecepatan bahkan kekuatannya… aku tak bisa mengukurnya. Apa yang harus kulakukan ?” Alena pun berpikir. Namun, Pantheronia mulai mendekatinya lagi, “Ah, aku tahu !” Pantheronia pun memulai serangan dengan pedang besarnya. Tapi… dengan dua jari menekuk dari tangan kosong kirinya, Alena mulai mengarahkan jarinya ke arah mata Pantheronia.
          “!!? A-apa !?” Pantheronia terkejut melihatnya. Saat dua jari di arahkan ke matanya, dengan cepat Alena langsung menekuk kembali jarinya dan pedang kecil di tangan kanannya pun memutuskan ikat kepala Pantheronia dari samping kepalanya tanpa membuatnya terluka. Pantheronia tidak habis pikir kalau Alena bisa membuatnya terkecoh dengan tindakannya yang seperti itu. sementara itu, Odyssey tiba-tiba berhenti dari latihannya karena terpana melihat Alena yang berhasil mengalahkan Pantheronia.
          “Wow ! Hebat juga Alena ! Baru pertama kali saja, dia bisa berhasil,” katanya sambil tersenyum.
          “Horeee !!! Aku menang !!!” teriak Alena kegirangan sambil memegang ikat kepala Pantheronia.
          “Ck ck ck… selamat, kau berhasil mengalahkanku melalui latihan perdanamu. Ngomong-ngomong, kau tahu teknik dua jari itu dari mana ?” tanya Pantheronia penasaran.
          “Oh… Kakakku yang mengajarkanku. Katanya, almarhumah ibu yang mengajarinya agar ia dan juga aku bisa bertahan hidup, walaupun tidak mempunyai pedang untuk melawan musuh.”
          “Oh begitu… Nah selanjutnya, kau boleh latihan mengayunkan pedang. Tapi tentu saja tidak dengan pedang besar,” kata Pantheronia sambil membalikkan badan ke arah Odyssey, “oi, Odyssey ! Kok kau bengong saja dari tadi ? Cepat mulai ! Kalau tidak, aku buat kau babak belur !”
          “I-iya !!” Odyssey ketakutan mendengar ancaman Pantheronia dan ia pun langsung memulai latihannya.
          “Alena, tunggu apa lagi ? Cepat mulai !”
         “Baik !!” akhirnya, mereka berdua memulai latihannya dan pastinya dengan pengawasan Pantheronia.

To Be Continued

Kamis, 22 November 2012

Prologue


Prologue
          Begitu gelap dan juga dingin. Sebuah lorong sempit menjadi tempat tinggal bagi dua bersaudara yatim piatu, yang pada saat itu mereka sedang tertidur di sudut lorong dan tiba-tiba sang adik menggigil kedinginan hingga sang kakak terbangun. Sang kakak beranjak dari tidurnya dan mulai memastikan keadaan adiknya itu.
“Astaga… kau demam, Alena,” sang kakak menaruh tangan kanannya di atas dahi adiknya yang ternyata lebih panas dari biasanya, “ini pasti karena lingkungan tempat tinggal kita seperti ini. Apalagi sekarang sedang musim hujan. Mari kita pergi berobat ke tempat dokter,” ia mulai menarik tangan adiknya.
“Jangan…” namun, Alena mencegah keinginan kakaknya untuk pergi sambil menarik kembali tangan kakaknya, “tidak usah, kak… Besok, pasti aku sembuh. Jangan khawatirkan keadaanku.”
Sang kakak pun menghela napas, “Bagaimana bisa aku tidak mengkhawatirkanmu ? Alena, kau satu-satunya adikku. Aku tidak mau kehilangan orang yang aku sayangi seperti halnya ayah dan ibu yang telah meninggalkan kita berdua.”
Mendengar perkataan kakaknya, Alena mulai berpikir sejenak dan kemudian kembali membalas, “Walaupun ingin berobat, kita sama sekali tidak memiliki uang. Bahkan untuk makan saja, kita harus mengemis kepada orang-orang yang tak pernah peduli dengan keberadaan kita.”
Sang kakak kembali menghela napasnya dengan panjang dan kembali membalas perkataan Alena, “… Baiklah, aku akan mencari uang sebanyak mungkin. Lalu, kau tunggu di sini saja dulu. Aku berjanji untuk kembali ke sini lagi,” sang kakak langsung meninggalkan Alena sambil berlari dengan cepatnya keluar dari lorong tersebut.
Melihat kegigihan sang kakak mencari uang, dengan kedua tangannya mulai menggenggam satu sama lain, sambil berbaring Alena berdoa, “Ya Tuhan, berilah perlindungan kepada kakakku. Semoga ia selamat dan kembali ke sini lagi.”
m
          Waktu terus berjalan hingga petang menjelang. Langit biru yang lumayan cerah di pagi hari berganti menjadi jingga kekuningan di senja hari. Dari pagi, Alena tak bisa tidur karena terus memikirkan keadaan sang kakak dan lapar pastinya. Hanya berbaring dan tak ada berbuat apa pun.
“Kenapa kakak lama sekali ? Apa ada terjadi sesuatu padanya ?...” tiba-tiba, ia dikejutkan dengan teriakan histeris dari orang-orang di luar lorong. Mendengar itu, Alena langsung beranjak dari tempat di mana ia berbaring dan menuju keluar lorong.
          Setelah keluar dari lorong yang sempit itu, Alena melihat sekumpulan orang-orang berlari menuju ke jalan keluar desa. Dari raut wajah mereka terlihat seperti ketakutan yang seakan-akan dikejar oleh sesuatu yang menyeramkan. Ia pun memanggil bertanya kepada salah seorang dari mereka.
“Ada apa dengan kalian ? Kenapa kalian ketakutan sekali ? Apa ada sesuatu ?”
“Cepat lari keluar desa, Nak ! Monster itu akan menghancurkan tubuhmu !!” lalu, orang itu langsung pergi meninggalkan Alena begitu saja.
“Monster ? Hei, tunggu !!”
          Tak lama kemudian, orang-orang desa yang berlari tadi tiba-tiba gerakannya berhenti dan tak sampai hitungan beberapa detik, tubuh mereka hancur seolah terpotong oleh pisau daging yang tajam hingga darah keluar dengan derasnya membasahi tanah bahkan rumah-rumah yang ada di desa itu. Melihat hal itu, Alena terpaku di tempat di mana ia berdiri dan langsung syok. Keringat begitu banyak keluar dari wajahnya dan tubuhnya bergetar sedemikian hebat karena perasaan takut yang mencekam. Ia tak bisa melangkahkan kakinya bahkan melarikan diri, atau bersembunyi dari “monster” yang membunuh penduduk desa. Hanya menunduk yang bisa dilakukannya.
Tak disadari olehnya, tiba-tiba seseorang berjubah hitam telah  berada di sampingnya.  Tentu saja, Alena langsung terkejut dengan keberadaan orang itu yang telah dekat dengannya. Kemudian, orang itu pun bertanya, “Anak kecil, siapa namamu ? Kenapa kau belum mati terkena seranganku ? Apa jangan-jangan kau salah satu dari prajurit generasi ketujuh ?”
“Generasi ketujuh ?...” pikirnya. Mendengar pertanyaan itu saja, ia tak bisa memusatkan pikiran untuk menjawab atau mengadahkan kepalanya di hadapan seseorang tak dikenalnya. Ketakutan membuatnya tidak bisa membuka mulutnya untuk menjawab pertanyaan si “monster” itu.
“Hm… Kenapa tidak menjawab ? Kau takut padaku ? Huh, baiklah… bertanya pada anak kecil sepertimu hanya menghabiskan waktuku saja. Untuk sementara ini aku akan membiarkanmu hidup, tapi untuk selanjutnya tak akan seperti dulu lagi,” orang itu langsung menghilang dari hadapannya hingga Alena mulai mengadahkan kepalanya dengan hati-hati.
          “Hosh… hosh… hosh…” Alena mulai mengatur napasnya, “siapa orang itu ? Apa maksudnya dengan “generasi ketujuh” ?...” tiba-tiba, ia mulai berpikir dengan keberadaan sang kakak saat ini, “oh iya… bukan saatnya aku terus-terusan di sini. Aku harus mencari kakak sekarang !!” ia langsung berlari ke arah dalam desa.
m
          Sementara itu, di luar desa, seorang yang berjubah hitam yang bertemu dengan Alena, kini melihat desa itu dari kejauhan. Pada saat itu juga, seseorang berjubah hitam yang lain datang menghampirinya dan bertanya.
“Bagaimana ? Kau telah menemukannya ?”
“Tidak… Sama sekali tidak ada. Cih, membuang-buang waktu saja,” jawabnya dengan nada kesal dan mulai melanjutkan pembicaraan lagi, “tapi… aku menemukan hal menarik,” senyuman langsung menghiasi wajahnya.
“Apa itu ?” tanyanya dengan penuh penasaran.
          “Mungkin ini cuma dugaanku saja. Saat aku menyerang penduduk desa, ada anak kecil yang tidak termakan oleh seranganku. Padahal jangkauan seranganku telah sampai padanya. Tapi tak ada luka sedikit pun mengenai tubuhnya.”
“Apa katamu ? Bagaimana bisa ? Kau tidak jadi membunuhnya ?” ia kembali bertanya dengan nada kesal.
“Tidak, aku tidak membunuhnya. Aku juga heran kenapa anak kecil itu bisa tidak terkena seranganku,” ia kembali tersenyum, “kemungkinan, anak itu salah satu dari generasi terakhir. Tapi, jangan khawatir. Jika dia sudah besar, aku pasti akan membunuhnya dan dia pasti juga melakukan hal yang sama…”
“….. Kalau itu maumu…” tiba-tiba, ia mulai merasakan kehadiran orang lain yang mulai begitu cepat menuju ke tempat mereka berdiri, “Cih… Hounan, ayo cepat pergi ! Sepertinya “dia” mulai menuju ke sini.”
“Mengganggu saja. Baiklah, kita pergi dari sini, Mahoroba…” mereka berdua langsung menghilang begitu saja dari sana.
Tak lama kemudian, munculah seorang wanita berambut pirang panjang dan berjubah putih sambil membawa pedang besarnya menuju ke tempat dua orang tadi, “Aneh. Barusan aku merasakan energi dari dua orang. Tapi tiba-tiba mereka menghilang begitu saja,” katanya sambil melihat desa itu dari kejauhan dan mulai mencium sesuatu, “… Bau amis… baunya yang begitu tajam tercium dari sini. Jangan-jangan…” tanpa pikir panjang, ia langsung bergegas menuju desa itu.
m
          Menyusuri jalanan tanpa henti, Alena terus berusaha mencari kakaknya. Kini, jalan telah penuh dengan genangan darah dan hamparan mayat-mayat bergelimpangan begitu saja di tiap sisi jalan. Hal itu membuat ketakutannya semakin besar ketika melihat keadaan desa itu. Tubuhnya mulai terkulai lemas karena sama sekali belum makan dari tadi pagi dan persediaan makanan di tempat tinggalnya telah habis. Tak lama kemudian, akhirnya ia pun jatuh tersungkur di antara banyak mayat dan genangan darah. Kepalanya terasa mau pecah dan bayangan kabut gelap mulai menyelimuti matanya.
“…Sa-sama sekali tidak pernah aku lihat pe-pemandangan menakutkan seperti ini… Ugh… kakak, jangan mati… se-sepertinya, aku sudah tak mampu untuk berdiri lagi……” kemudian, ia langsung tak sadarkan diri.
          Sementara itu, wanita berambut pirang tadi telah sampai di desa yang baru saja dibantai. Sambil menyusuri tiap jalan, ia pun memerhatikan keadaan sekitar yang begitu menyedihkan dan menyesakkan dada baginya, “Sudah kuduga… ternyata memang ada yang tidak beres dengan keadaan di sini. Keterlaluan sekali mereka membunuh orang-orang desa yang tak berdosa dan tak tahu apa-apa,” wanita itu pun langsung memejamkan matanya dan melalui kekuatan yang dimilikinya, mulai merasakan suatu energi yang begitu lemah, “Syukurlah masih ada yang hidup. Aku harus cepat menemukannya,” dengan langsung wanita itu pergi ke tempat yang dicarinya melalui kekuatan itu.
          Beberapa saat kemudian, akhirnya ia sampai juga di tempat tujuan. Di mana-mana hanya terlihat pemandangan berupa seonggok daging para mayat dan genangan darah yang telah menyebar ke hampir seluruh sisi jalan dan di antaranya, ia melihat seorang perempuan kecil yang ternyata adalah Alena, tergeletak begitu saja di sana, “Hm… jadi, anak ini yang masih hidup ? Tapi, tak ada luka sedikit pun yang mengenai tubuhnya. Sepertinya dia hanya pingsan. Baiklah, aku akan membawanya ke rumahku dan tempat ini sudah tidak aman lagi baginya,” kemudian, wanita itu membawa Alena pergi meninggalkan desa itu.
m
          Perlahan-lahan Alena mulai membuka kedua matanya. Langit-langit rumah yang terbuat dari kayu yang dilihatnya saat ini, bukanlah  pemandangan menakutkan di desa yang terakhir kali ia lihat. Alena langsung sadar kalau tempat ia berada sekarang bukanlah di desa. Ia langsung bangun dari tempat tidurnya dan tiba-tiba terdengar suara wanita yang berbicara kepadanya, “kau sudah sadar rupanya…”
          “Eh ? Siapa kau ? Tempat apa ini ?” tanyanya kepada seorang wanita yang belum pernah ia temui sebelumnya.
          “Namaku Pantheronia. Sekarang kau berada di rumahku. Akulah yang membawamu dari desa itu ke sini,” jawabnya dan ia pun mendekati Alena di samping tempat tidurnya.
          “Membawaku dari desa ? Kenapa kau cuma membawaku ? Bagaimana dengan kakakku ?” ia pun melontarkan pertanyaannya bertubi-tubi kepada Pantheronia.
          “Jadi kau punya kakak ? Saat aku datang ke desamu, tak ada satu pun yang kurasakan energi lain selain kau, bocah kecil,” godanya.
          “Bocah kecil, katamu ? Umurku sudah 10 tahun dan namaku Alena ! Ingat itu baik-baik !!” ia pun marah karena mendapat panggilan seperti itu.
          “Hehehehe… kau lucu ternyata. Walaupun kau sudah berumur 10 tahun, umurku justru lebih tua darimu dan sikapmu yang seperti itu tetaplah menunjukkan kalau dirimu itu memang bocah kecil, Alena…,” Pantheronia pun tak bisa menahan ketawanya dan Alena semakin kesal dibuatnya, “Baiklah, aku mulai serius sekarang,” Pantheronia langsung mengentikan tawanya, “Aku mau bertanya, siapa yang telah berbuat kejam di desamu ?”
          Mendengar pertanyaan itu, Alena langsung diam sejenak dan tak lama kemudian ia mulai berbicara, “Orang-orang desa telah dibunuh oleh “monster” itu.”
          “Monster, katamu ? Memangnya seperti apa wujudnya ?”
          “Yang aku lihat, dia hanya berwujud manusia yang berjubah hitam. Aku yakin, dialah yang telah membunuh penduduk desa. Saat penduduk desa yang berusaha melarikan diri darinya, tiba-tiba tubuh mereka hancur begitu saja dan darah muncrat keluar dengan kuat pun membasahi tanah desa, tapi…kenapa justru aku tak terkena serangannya ? Padahal, aku yakin telah terkena. Kemudian, orang itu langsung menghampiriku dan bertanya kepadaku, apakah aku ini termasuk “generasi ketujuh” ? Aku… aku tak mampu untuk menjawab apa pun karena rasa takut yang mencekam. Karena aku tak menjawab, ia pun berkata bahwa suatu saat ia akan membunuhku, dan langsung menghilang begitu saja,” jawabnya dengan penjelasan panjang lebar dan kemudian ia balik bertanya, “apakah kau tahu maksud dari “generasi ketujuh” itu ?”
          “Generasi ketujuh adalah generasi terakhir.”
          “Apa !? Maksudmu dunia akan kiamat ?” Alena sangat terkejut mendengarnya.
          “Yah… mungkin juga ada kaitannya dengan itu…,” Pantheronia kembali melanjutkan, “generasi terakhir yang dimaksud adalah generasi yang sangat diharapkan oleh Sang Penjaga Gerbang Barat, Rucserria.”
          “Sang Penjaga Gerbang Barat… Rucserria ?”
          “Ya, dialah yang telah memberikan kekuatan kepada tiap-tiap generasi prajurit pilihannya. Bukti bahwa termasuk prajurit pilihannya adalah simbol di dahi mereka.”
          “Simbol di dahi ? Ceritakan padaku lebih lanjutnya…” kata Alena dengan penuh penasaran.
          “Tujuan Rucserria memberikan kekuatan kepada mereka adalah melindungi tanah benua Crosscetta ini dari musuh kita di benua utara, Sukushiha clan, dan… tujuan prajurit pilihan yaitu melindungi para rakyat dari bencana musuh dan juga… kuil suci Vallegrand yang letaknya di pusat benua ini, tempat di mana Rucserria berdiam diri.”
          “Eh ? Kenapa kuil suci seperti itu harus dilindungi ?”
          “Hm… pertanyaanmu ingin membuatku naik darah saja,” jawab Pantheronia mulai dengan nada kesal, “kenapa harus dilindungi ? Justru kuil itulah menjadi tujuan utama Sukushiha clan menyerang kita. Mereka menganggap kuil itu dulunya merupakan tempat di mana mereka berkuasa saat itu. tapi, seiring bertambahnya waktu, akhirnya mereka berhasil dikalahkan oleh prajurit generasi keenam.”
          “Meskipun mereka telah dikalahkan, apa tujuan adanya generasi ketujuh ? Apa…apa akan ada kelanjutan perang melawan Sukushiha clan ?”
          “Entahlah… aku rasa… aku rasa bisa lebih dari yang kau bayangkan, Alena…” jawabnya dengan nada mulai melemah, “ya sudahlah, capek juga berbicara panjang lebar. Ah, aku baru ingat. Tadi aku sudah memasakkan sup buatmu. Tapi, sepertinya sup yang kuhidangkan mulai dingin.”
          “Tidak apa-apa…” perkataan Alena membuat Pantheronia kebingungan, “aku tidak apa-apa kalau makan sup yang mulai dingin… Soalnya, dari tadi pagi aku belum makan.”
          “Baiklah, ayo kita pergi ke ruang makan,” kata Pantheronia dan mereka berdua pun makan bersama.

To Be Continued